Sabtu, 07 Februari 2015 22:05:00

Potret Buram Parpol Islam, Soroton Terhadap PKS

Dosen UIN Suska Riau Elviriadi
 
Kalaulah tidak tertangkap Lutfhi Hasan Ishaaq sang presiden,  tentu wacana tentang PKS tidak terlalu menarik bagi publik.  
 
Idealisme itu sebenarnya cukup dimiliki Partai Keadilan (sebelum berganti PKS) yang semuala diniatkan untuk membangun tahapan mihwar siyasi (tahapan berpolitik) untuk menyebarkan kebaikan, syiar Islam dan daulah (negara) dalam kehidupan kebangsaan. 
 
Begitupula pada fatsoen politik PPP dan PBB ketika awal didirikan tampak spirit Islam begitu  kental.  
 
PAN dan PKB sengaja tidak penulis kemukakan, sebab kedua partai yang berbasis organisasi Islam terbesar itu dengan lugas mengatakan bercorak nasionalis terbuka.  
 
Akan halnya partai-partai Islam ini, belakangan mulai tampak “kehabisan bensin” mewujudkan cita-cita besarnya, ketika ril politik ternyata berbeda secara diametral dengan kultur  dan psikologis partai. 
 
Kenyataan memperlihatkan partai-partai Islam selama ini belum mampu menerjemahkan jati diri mereka dari konsepsi teologis-politis ke dalam level praksis. 
 
Kondisi seperti itu mengingatkan apa yang pernah dilontarkan (alm) Prof Deliar Noer, Islam memang mayoritas secara sosiologis, namun secara politis adalah minoritas.
 
Khusus untuk  membedah anatomi PKS ini dapat penulis uraikan setidaknya ada tiga faktor utama.
 
Soliditas : Sumber Kelemahan atau Kekuatan
Soliditas PKS sesungguhnya berakar dari tradisi “tsiqoh” (percaya bulat-bulat) kader (qiyadah) kepada jundiyah (pemimpin).  Proses pembentukan doktrin tsiqoh itu melalui pendidikan ruhani yang disebut liqo’. 
 
Di dalam liqo’ yang berlangsung mingguan itulah ditempanya keimanan, ditanamkannya nilai-nilai akhlaqiah dan ibadah. Aura yang tercipta dengan liqo’ itu ialah keseganan, rasa hormat, penyerahan diri, dan keyakinan total kepada sang  guru liqo’ yang dianggap mampu membawa kepada jalan kebenaran Islam. 
 
Budaya inilah yang melahirkan soliditas kader yang tiada dua di PKS dibanding partai politik yang lainnya. 
 
Tetapi dalam praksis politik, analisis ruhani dan ketajaman ibadah sang guru, sesungguhnya tidak bisa serta merta dianggap mumpuni dalam mengatasi problem kerakyatan dan kenegaraan yang diembannya sebagai pejabat eksekutif atau legislatif. 
 
Dalam hal ini ajaran Islam mengajarkan untuk menyerahkan sesuatu urusan hendaklah pada  ahlinya. 
 
Di sinilah PKS harus mampu merestrukturisasi pendistribusian kadernya ke pentas kekuasaan senafas dengan parameter-parameter meritokrasi politik rasional, bukan semata-mata berdasarkan jenjang lama mengikuti pendidikan ruhani yang justru melahirkan parokialisme politik.
 
 Belajar dari Ulama-Pejuang
Kasus yang menimpa  Luthfi Hasan, terpelantingnya PBB dn PBR dalam electoral threshold Pemilu 2014 serta  merosotnya suara PPP dengan mudah memperlihatkan lemahnya daya tahan ideologi  partai partai Islam itu. 
 
Pada hemat penulis, partai-partai Islam itu harus mempelajari ulama pejuang semacam M Natsir, Kasman  Singodimedjo, Mr Mohd Roem, Buya Hamka, H Agus Salim, KH. Ahmad Dahlan, Syafruddin Prawiranegara,  Burhanudidin Harahap, dan yang lainnya dalam membumikan politik Islam dalam blantika kenegaraan. 
 
Mempelajari ulama pejuang diatas berarti membaca kejeniusan (ulil albaab) debat politisi muslim itu dalam sidang konstituante, meneladani kesederhanaan hidup (wara’), kehormatan diri (muru’ah), teguhnya prinsip (izzah), program kerja yang jelas (at tandzim), ikhasnya hati, lapang dada (tasamuh),  inklusif tapi tak larut (idfa’billati hiya ahsan), serta kapabilitas (fani’ah) dalam mengatur strategi taktik dalam medan tempur politik yang serba macheavelistis.  
 
Itulah mengapa pada tahun 1955 suara partai Islam mencapai 45 persen, mengalahkan PSI yang di-back up habis-habisan Soekarno.  
 
Karena ulama sejati semacam Pak Natsir dan kolega, hatinya terpatri benar kepada umat, tidak takut terhadap kurangnya uang di dalam kas partai karena energi politik mereka bersumber dari nilai-nilai metafisika, kelurusan sikap serta  keseriusan memperjuangkan aspirasi konstituen. 
 
Kalau perlu, mereka tidak segan-segan keluar masuk penjara demi mempertahankan keyakinan pandangan hidup. 
 
Walaupun zaman berubah, masyarakat Indonesia setelah 13 tahun hidup di era reformasi tetap merindukan partai cerdas dengan ideologi jelas berpihak ke rakyat, bukan seperti panggung sandiwara yang dimainkan partai politik pada hari ini yang amat memuakkan. Mengapa tidak ke sana parpol Islam itu merujuk? 
 
Malahan, sebaliknya bila materialisme yang diyakini sebagai paradigma merebut suara voters, tentu parpol Islam perlu “gizi” dengan cara menjual “perahu” pada musim Pilkada ataupun memeras Kementerian dan BUMN. 
 
Dan yang lebih berbahaya lagi, para petinggi Parpol Islam itu, cenderung membangun  wibawa “semu” individual kepada pengikut (kader) yang tsiqoh (percaya bulat-bulat).  
 
Bila itu yang terjadi, maka voters (pemilih) yang berasal dari internal maupun pemilih di luar, dengan cepat dapat menilai arah kebijakan partai yang tidak pro rakyat, dan resikonya pun jelas: ditinggalkan! 
 
Pada hemat penulis, dengan menggali sejarah para  ulama-pejuang  sekaligus the founding fathers Indonesia itu, partai-partai Islam akan mendapat darah segar untuk menata kembali kekuatan sesungguhnya yang berakar dari nurani yang disinari panji tauhid sebagaimana pekik  Anis Matta “Allahumma Iyyakana’budu waiyya kanasta’in..!!
 
Visi Modern 
Mau tidak mau, demokrasi modern menuntut transformasi fatsoen partai politik yang normatif ke dalam agenda agenda publik yang transparan dan terukur. 
 
Oleh itu, berhati-hatilah membangun tradisi verbalisme politik dengan istilah-istilah kosong : “Konsolidasi, pengabdian kepada bangsa, revitalisasi ideologi, penegakkan moral dan hukum kepada publik, tanggung jawab sebagai kader bangsa, apalagi menggunakan idiom-idiom suci di wilayah agama yang belum teruji kejuangannya”. 
 
Partai Islam yang rata-rata sudah establish dalam konsep-konsep kemaslahatan umum, negara dan rakyat sudah saatnya membuktikan diri dengan menyatakan terbuka, jujur dan transparan dalam managemen partai. 
 
Tawaran Burhanuddin Muhtadi, pengamat dan peneliti LSI kepada PKS khususnya agar mau menjadi partai yang menyatakan siap memberitakan keuangan partai kepada publik, sumber-sumber pemasukan, penggunaan anggaran, hubungan dan agenda yang jelas dengan konstituen (terutama dalam masa reses), tidak ashobiyah (ego kelompok) dan defensif bila dikritik, dan ide-ide modern lainnya sudah sepatutnya dielaborasi kritis agar citra positif menyeruak kembali. 
 
Citra positif itupun dibuat bukan reaktif atas hasil survey Saiful Mujani, Soegeng Suryadi dkk yang mengatakan elektabilitas partai Islam melorot jatuh di 2014. 
 
Karena penulis sewaktu di Ohio State University bulan Mei 2012, berdebat langsung dengan “suhu” politik beliau-beliau tukang survei itu, yaitu Prof Dr William Liddle yang mencoraki pemikiran sang murid dengan misi-misi yang patut penulis “curigai”.  
 
Bisa saja survei itu tendensius untuk kepentingan tertentu, khawatir atas kebangkitan Islam politik, misalnya jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bertema ‘Dicari Capres 2014 yang Melindungi Keberagaman’ pada 23 Desember 2012 yang menghasilkan dukungan terbanyak kepada Capres yang tidak memberi hak istimewa kepada kaum mayoritas muslim. 
 
Belajar dari semua yang terjadi, seharusnya muhassabah dan taubat nasional yang diserukan Anis sang presiden menjadi bacaan iktibar untuk kembali ke pangkal jalan. Gerakan muhassabah politik serupa itu dapat didialektik ”ke dalam” dan diaruskan ”keluar”.  
 
Ke dalam berupa pengakuan jujur bahwa telah terjadi ketergerusan idealisme di tubuh partai tanpa harus ditutup-tutupi lagi, dan ke luar berarti ikrar memperbaiki diri dipancar teruskan kepada agenda konkret yang terukur dalam membela kepentingan rakyat.  
 
Apalagi bila dilakukan dengan hati ikhlas cintakan umat, di situlah warisan terbesar partai Islam tidak saja menyongsong kemenangan di Pemilu 2014. 
 
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, politisi mati meninggalkan nama yang abadi, walau sehari-hari dibenci musuh kanan-kiri, di akhirat kelak syurga kan menanti. (*).
 
Penulis adalah Pengurus Kahmi Nasioanal dan Dosen UIN Suska Riau.
Share
Berita Terkait
  • 3 bulan lalu

    Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas di DPRD Riau, Ada 35 Ribu Tiket Pesawat Fiktif, Tokoh Anti Korupsi Minta Usut Semua Terlibat

    PEKANBARU, - Mengerikan dan sangat dahsat negeri ini, dugaan korupsi SPPD fiktif DPRD Riau tentunya tidak hanya di lakukan segelintir orang, dicurigai bahwa SPPD fikti

  • 7 bulan lalu

    Membanggakan, Dosen Polbeng Terpilih Sebagai TIm Kurator Program SMK Pusat


    BENGKALIS - Dosen Politeknik Negeri Bengkalis, Ba
  • tahun lalu

    Di Riau Info Loker: 70 Perusahaan Buka 2.000 Lowongan Kerja di Job Fair Riau 2023

    RIAU, PEKANBARU  - Kabar baik bagi pencari kerja (Pencaker), ada sebanyak 2.000 lowongan kerja disiapkan dalam Riau Job Fair tahun 2023, yang akan dilaksanakan di Hotel Fri

  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified