Minggu, 03 November 2019 23:45:00

Kisah Caknun yang tak Ingin dipanggil Kiyai

Walaupun keilmuannya mumpuni, Cak Nun tidak pernah mau dipanggil dengan sebutan kyai. Ia memang bersahabat dengan banyak kyai besar di seluruh Nusantara. Tetapi ia lebih senang dipanggil Cak Nun.

Cak Nun sendiri merupakan sebutan akrab di daerah Jawa Timur. Dengan hanya dipanggil “Cak”, ia merasa dirinya bisa lebih mudah berbaur dengan masyarakat dan begitupun sebaliknya.

Dia adalah sosok yang tak senang dipuji, disanjung terlebih dihormati secara berlebihan. Menurutnya semua orang berhak duduk bersama, menikmati hidangan bersama, tertawa bersama, dan berdiskusi bersama dalam satu tempat yang tidak ada pembedaan kedudukan.

Sebagaimana dirinya yang disebut sebagai budayawan, maka pemikirannya tak jauh dari budaya itu sendiri. Berawal dari kegelisahannya terhadap apa yang sedang dan sudah terjadi di masyarakat membuat Cak Nun lebih agresif untuk membongkar dan mendekonstruksi pemikiran masyarakat.

Menurutnya, budaya merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Dalam berbagai kesempatan, Cak Nun menjelaskan bahwa budaya merupakan paduan dari sesuatu yang nampak dengan sesuatu yang tidak nampak.

Bahkan yang sangat mempengaruhi sesuatu yang tampak adalah sesuatu yang tidak nampak. Itulah yang harus dirubah dan dikonstruksi. Masyarakat harus sadar betul bahwa semua yang terjadi dipengaruhi cara berpikirnya.

Tetapi ia seringkali dianggap menyalahi aturan karena masih banyak orang yang belum bisa mencerna apa yang disampaikannya.

Kebanyakan yang menjadi kritikan olehnya adalah masyarakat sendiri. sebab ia tidak mau melihat masyarakat yang kebanyakan dari mereka lebih suka ikut-ikutan. Bahkan untuk istilah kafir yang sering dilontarkan oleh kaum muslimin sendiri untuk muslim lainnya dianggapnya sebagai penodaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Hal yang paling diperjuangkan oleh Cak Nun adalah persoalan persatuan. Oleh karena itu, di saat banyaknya masyarakat yang saling menyalahkan dengan menuduh kafir, sesat, bid’ah dan lain sebagainya maka dirinya tidak akan tinggal diam.

Menurut Cak Nun, sebelum seseorang memutuskan untuk belajar agama, maka telebih dulu ia harus belajar menjadi manusia.

Manusia adalah orang yang memiliki hati, rasa, jiwa, ruh, pikiran dan raga. Kesemuanya itu harus digunakan untuk menyikapi segala apapun yang terjadi. Masing-masing komponen itu harus dipelajari sedetail mungkin. Dalam  kata lain, Cak Nun mengajak manusia untuk mempelajari dirinya sendiri.

Mengerti dirinya sendiri akan mengantarkan seseorang untuk bisa mengerti orang lain. Dalam penjelasan sederhananya, Cak Nun sering mengibaratkan bahwa kalau dirinya tidak suka dipukul maka tidak boleh memukul. Kalau tidak suka dihina maka jangan menghina. Jika tidak mau dicubit maka jangan mencubit dan begitupun seterusnya.

Baginya, klaim pengkafiran dan istilah penistaan lainnya akan memicu perpecahan. Padahal semangat perpecahan itu sudah digencarkan oleh kaum zionis yang dibelakangnya adalah kaum Yahudi.

Hasilnya, dengan banyaknya umat Islam sendiri yang saling tuduh, justru akan mempermudah kaum Yahudi untuk memporakporandakan umat Islam. Hal inilah yang sangat disayangkan oleh Cak Nun.

Semangat yang digaungkan oleh Cak Nun adalah semangat persatuan sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh para ulama’ zaman dulu. Cak Nun sangat mengutuk masyarakat yang tidak tahu apa-apa tetapi ikut-ikutan melakukan penuduhan, klaim dan penistaan yang berujung sampai kepada pertengkaran dan permusuhan.

Oleh karena itu, untuk bisa mengenduskan pemikirannya ke benak setiap lapisan masyarakat, Cak Nun kemudian membentuk Kyai Kanjeng. Cak Nun memilih jalur musik sebagai media dakwahnya karena dirasa lebih bisa familiar dengan masyarakat. Sudah banyak model dakwah yang melalui mimbar-mimbar.

Musik yang dipilihnya pun bernuansa budaya sebagaimana salah satu sahabat baiknya Habib Anis Sholeh Ba’asyin asal Pati yang juga menggunakan media dakwahnya orkes puisi Sampak GusUran.

Keduanya memang merupakan dua badan tetapi seperti satu jiwa. Pemikiran keduanya hampir sama. Dan melalui syair-syairnya itu, Cak Nun mencoba mendeklarasikan sebuah perubahan sudut pandang.

Cak Nun memahami bahwa tidak semua orang bisa mencerna dengan baik maksud dari syair-syairnya. Oleh  sebab itu di sela-sela pementasan atau di akhir pementasan biasanya akan diisi dengan penjelasan dari maksud puisi atau syairnya.

Tidak hanya itu, sebagai oran yang menggaungkan nilai-nilai kebudayaan, maka di tengah-tengah pentasnya, cak  nun mengajak audiens atau penonton untuk berdiskusi.

Selain untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman masyarakat, cara ini juga sangat efektif untuk membuat dirinya akrab dengan masyarakat. Kedekatan itulah yang disebutnya sebagai “paseduluran”. Istilah yang satu ini menjadi semangat berjuangnya dan juga ingin ditancapkan kepada setiap masyarakat.

Baginya orang yang menganggap orang lain sebagai saudaranya, maka jika saudaranya berbuat salah maka akan diingatkan dengan cara yang baik. Saudara tidak akan pernah mencaci maki apalagi mengkafirkan.

Jikalau memang ada yang dirasa sudah kafir, maka harus diajak bicara dengan baik dan diberi pengertian yang baik pula. Sehingga kehidupan keberagamaan akan terasa jauh lebih baik dan indah.

Cak Nun juga seringkali meluruskan pemahaman masyarakat tentang berbagai istilah dari sudut pandang etimologisnya. Sebab masyarakat yang tidak tahu asal usul suatu istilah akan lebih mudah ikut-ikutan.

Oleh karena itu, ia selalu menggembor-gemborkan agar masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang cerdas, bukan masyarakat yang pintar.

Selain itu, Cak Nun selalu mengajak masyarakat agar tidak mudah berburuk sangka. Baginya, buruk sangka merupakan salah satu sebab terjadinya banyak pertikaian dan permusuhan di antara saudara sendiri.

Saudara, sahabat, guru, orang tua dan semuanya bisa jadi musuh akibat burung sangka. Oleh karena itu, Cak Nun mengajak  untuk selalu berpikiran positif. Dengan berpikir positif orang akan lebih bisa mengerti, memahami dan akhirnya timbullah rasa sayang.

Orang yang salah besar sekalipun tidak pantas untuk dibenci sebagaimana yang sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Tetapi orang yang berbuat salah, dosa, keji, jahat dan lain sebagainya merupakan orang yang harus dikasihani dan diberikan pengarahan agar bisa menjadi lebih baik lagi. Hal ini yang sulit dipahami oleh banyak orang.

Cak Nun mengibaratkan bahwa orang jahat dan memiliki banyak dosa merupakan orang yang sedang sakit hatinya. Dengan demikian, orang yang seperti itu perlu ditangani secara serius. Semakin banyak dosa ataupun kejahatan yang diperbuatnya, maka semakin parah penyakitnya sehingga harus semakin serius penanganannya.

Kesemua gagasannya itu dilatarbelakangi oleh kedalamannya mengkaji sebuah teks agama. Tetapi untuk bisa dipahami oleh masyarakat, Cak Nun mengemasnya dengan analogi yang biasa dikerjakan masyarakat.

Dan untuk menarik banyak kalangan, Cak Nun selalu membawa Kyai Kanjengnya. Hal ini bertujuan selain untuk memberikan pemahaman, Cak Nun juga ingin memberikan hiburan yang mendidik.

Ia tahu betul bagaimana tipikal masyarakat Indonesia yang sangat menyukai hiburan. Tetapi sayangnya kebanyakan hiburan yang ada jarang yang mengandung nilai-nilai sosial.

Oleh karena itu, Kyai Kanjeng merupakan salah satu bentuk metamorfosa seni musik sebagai hiburan yang sekaligus menjadi media penyalur nilai-nilai agama, budaya, sosial dan kebangsaan. Dan yang paling ditekankan oleh Cak Nun adalah…

“Jadilah manusia yang manusiawi, bukan yang lainnya.”. (*).
sumber" caknun.

Share
Berita Terkait
  • 5 tahun lalu

    [VIDEO] Menelusuri Wirid Duh Gusti dalam Lagu yang dibawakan Kiai Kanjeng Sebagai Aktivasi Malaikat

    Duh Gusti, mugi paringo ing margi kaleresan
    Kados margineng menungso kang manggih kanikmatan
    Sanes margining menungso kang paduko la'nati

    Demikian lantun

  • 5 tahun lalu

    Maiyah, Beragama dengan Cinta

    Setelah mengisi acara seminar dan ziarah di Kudus, Syeikh Nursamad Kamba akhirnya bisa membersamai Sinau Bareng jamaah Simpul Maiyah Gambang Syafaat, di depan Aula Masjid

  • 7 tahun lalu

    Ini Perbincangan Cak Nun dan Luhut, Cak Nun : Orang Kalau Tertindas Pasti Teriak

    NUSANTARA, -  Budayawan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun bertemu dengan Menko Kemaritiman RI Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), Luhut tiba di Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakar
  • Komentar
    Copyright © 2012 - 2024 riauone.com | Berita Nusantara Terkini. All Rights Reserved.Jasa SEO SMM Panel Buy Instagram Verification Instagram Verified